Kesultanan Aceh Darussalam (1465-1907 M.)
Menurut Hikayat Aceh, pendiri Kesultanan Aceh Darussalam adalah Sultan Muzaffar Syah pada 1465 M. Dia membangun Aceh Darussalam di atas reruntuhan Kerajaan Lamuri. Secara geografis posisi Aceh Darussalam tidak strategis bagi pelayaran perdagangan, karena selalu dihantam oleh ombak yang besar. Posisi Aceh mulai mengalami perkembangan setelah Malaka sebagai bandar niaga Islam terbesar di Asia Tenggara jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, maka pedagang Islam segera memboikot Malaka, kemudian mencari dana membangun bandar bandar niaga baru sebagai tempat berdagang, salah satunya adalah Bandar Niaga Aceh Darussalam. Maka bandar niaga Aceh Darussalam menjadi ramai didatangi oleh para pedagang Islam dan Kesultanan Aceh mendapat keuntungan yang banyak dari perubahan ini.
Setelah Muzaffar Syah, Kesultanan Aceh Darussalam kemudian diperintah oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Pada masa sultan ini Kesultanan Aceh dapat menguasai Pedir, Lamuri, Daya, Pasari dan terbebas dari Intervensi Portugis. Pada masa pemerintahan sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya. Kesultanan Aceh menjadi negara Islam yang paling kuat di Nusantara bagian barat. Kesultanan Aceh masa ini memiliki armada yang besar dengan kapal meriam dan pasukan gajah nya.
Meriam meriam itu didapat dari kekhalifahan Turki dan dibeli dari bangsa Eropa. Selain dalam perekonomian dan armada angkatan perang, kesultanan Aceh ini juga telah menerapkan hukum islam melalui pengadilan agama Qaldhi (hakim). Dalam masa perang antara Islam dengan kolonial Belanda, kesultanan Aceh banyak mendapat sorotan dan peninggalannya.
Kesultanan Aceh terakhir dipimpin oleh Sultan Muhammad Daud Syah. Setelah Belanda berhasil menangkap sultan ini, maka kesultanan Aceh Darussalam berakhir di tahun 1907. Selanjutnya, perjuangan melawan Belanda diteruskan oleh rakyat Aceh bersama para ulama dan santri santrinya.
Baca juga: Sejarah Sesultanan Palembang