Logo Hari Jadi Bogor 537 Tahun 2019 Satata Sariksa


Logo Hari Jadi Bogor (HJB) ke-537 menggambarkan nafas keragaman, keselarasan dan potensi yang dimiliki Kota Bogor. Hal tersebut terlihat dari ornamen-ornamen yang disematkan dan membentuk angka 537.

Unsur modern dan tradisional yang terdapat dalam ornamen tersebut tampak melebur sebagai bentuk keselarasan dalam menjalani kehidupan. Di mana warga Bogor terus berusaha menyeimbangkan antara unsur budaya modern dan budaya tradisional agar berjalan beriringan dengan baik.

Ornamen-ornamen tersebut diantaranya: Kujang, Rusa, Gunung Salak, Kebun Raya, Istana Bogor, Batutulis, Lawang Salapan, angklung, penari jaipong, seni tradisi rengkong, hujan, bunga bangkai, cinta, kuliner, istirahat, belanja, lari, bersepeda, kampus, ngalun, skateboard, taman, barongsai, santri, ramah keluarga, delman, becak, olahraga hingga angkot.

Ada juga lambang Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terdapat pula tempat ibadah lintas agama sebagai simbol toleransi yang selama ini terjaga.
Tak ketinggalan sosok pria bermahkota sebagai manifestasi Prabu Siliwangi atau penguasa yang arif dan bijak, juga ditemani pengawal Kerajaan Sunda yang gagah dan tangguh.

Ornamen Maung dan harimau pun ikut melengkapi logo HJB ke-537. Dalam khazanah kebudayaan masyarakat tatar Sunda, maung merupakan simbol yang tidak asing lagi. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan eksistensi masyarakat Sunda dikorelasikan dengan simbol maung.

Kenapa harus ada ornamen Prabu Siliwangi dan Maung? Karena HJB yang jatuh setiap 3 Juni diambil dari momen Sri Baduga Maharaja dinobatkan sebagai Raja Pajajaran pada 3 Juni 1482.
Dalam logo tersebut juga tersemat aksara sunda di bagian bawah yang tertulis tahun 1482-2019.
Tema: Satata Sariksa
Tema tersebut diangkat untuk mengingatkan kembali rumusan kebersamaan hidup yang ada dalam ajaran karuhun.

Dalam ungkapan Satata Sariksa yang berarti ‘satu aturan bersama-sama memelihara’ ini guna menciptakan kebersamaan hidup yang sempat terkoyak belakangan ini.
Sikap yang ada di masyarakat bukanlah “saling bersaing”, tetapi justru sebaliknya, terutama dalam budaya desa, yaitu gotong royong, kerja sama atau saling membantu, saling mendukung, dan kalau bisa guyub untuk kebaikan bersama dalam konteks hidup bermasyarakat.

Seperti terdapat dalam ajaran silih asah, silih asuh, silih asih. Siliwangi sendiri konon berasal dari kata silih wangi yang artinya saling mengharumkan nama, dalam pengertian saling mendorong dan mendukung mencapai prestasi.

Related Posts